Senin, 12 Oktober 2015

PENGOLAHAN KOPI





PENGOLAHAN KOPI
(Laporan Praktikum Pengolahan Hasil Pertanian)


Oleh
MUHAMMAD BADRUN
1304122042













PROGRAM STUDI D3 PERKEBUNAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG

2015









1.  PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang

Kopi merupakan salah satu komoditi ekspor utama Indonesia.  Dimana Indonesia adalah produsen kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam dengan menyumbang sekitar 6% dari produksi total kopi dunia, dan Indonesia merupakan pengekspor kopi terbesar keempat dunia dengan pangsa pasar sekitar 11% di dunia.  Kopi merupakan salah satu komoditi andalan perkebunan yang mempunyai peran sebagai penghasil devisa negara, sumber pendapatan bagi petani, penciptaan lapangan kerja, pendorong agribisnis dan agroindustri serta pengembangan wilayah.  Produksi kopi Indonesia telah mencapai 600 ribu ton pertahun dan lebih dari 80 persen berasal dari perkebunan rakyat  Devisayang diperoleh dari ekspor kopi dapat mencapai ± US $ 824,02 juta (tahun 2009).

Pada konteks pengembangan industri, industri biji kopi dan kopi olahan Indonesia mempunyai potensi untuk dikembangkan karena nilai keterkaitan prospek ke depannya.  Peningkatan permintaan di industri biji kopi dan kopi olahan yang besar akan meningkatkan output di semua industry yang relatif besar yaitu 1,5 kali lipat.  Dengan memperhitungkan efek konsumsi masyarakat, yaitu jika terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga yang bekerja di industri kopi, maka kenaikan output tersebut dapat mencapai 3 kali lipat.  Industri biji kopi dan kopi olahan juga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja di semua industri.  Efek induksi pendapatan tenaga kerja di industri kopi dan kopi olahan terhadap industri lain sekitar 1,6 kali lipat.  Keterbatasan dari industri biji kopi dan kopi olahan adalah daya penyebaran ke belakang lebih tinggi dibandingkan daya penyebaran ke depan, sehingga pertumbuhan industri ini lebih banyak tergantung pada pertumbuhan ekonomi nasional.  Dalam rangka penumbuhan ekspor kopi Indonesia, maka pengembangan komposisi produk, distribusi pasar, dan daya saing harus diperhatikan.  Strategi penetrasi dan pengembangan pasar ekspor merupakan pilihan strategi yang dapat dilakukan.  

Pada saat bersamaan, peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran ekspor tetap perlu dilakukan.  Potensi pengembangan yang dimiliki industri kopi biji dan kopi olahan Indonesia perlu diaktualisasikan dengan memperhitungkan peluang pengembangan pasar internasional.  Berbagai produk kopi olahan yang telah dapat diproduksi di Indonesia perlu diekspor untuk memperbaiki kelemahan ekspor Indonesia pada komposisi produk.  Melihat prospek pasar komoditas kopi tersebut, diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan produksi dan kualitas kopi, baik melalui usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi kebun.

1.2  Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.  Mengetahui kriteria kopi beras yang baik untuk dijadikan bubuk kopi.
2.  Mengetahui tahapan pengolahan kopi bubuk.
3.  Mengetahui tingkatan suhu untuk menyangrai kopi beras.
4.  Mengetahui jenis kualitas kopi bubuk yang baik.






II.  PEMBAHASAN



Proses pengolahan kopi bubuk menjadi bubuk kopi terdiri dari beberapa tahapan proses yaitu sebagai berikut:

a.  Sortasi Biji Kopi Beras Kering

Biji kopi beras disortasi secara mekanik untuk memisahkan biji ukuran besar (ukuran > 6,5 mm), ukuran medium (5,5 mm<d<6,5mm) dan ukuran kecil (< 5,5 mm).  Biji pecah dan biji kecil terpisah di rak paling bawah.  Biji kopi yang siap dijadikan bahan dalam pembuatan kopi bubuk adalah biji kopi yang sudah dikeringkan kadar airnya berkisar antara 12-13%.  Permukaan bijinya sudah bersih dari lapisan kulit tanduk dan kulit ari.  Biji kopi merupakan bahan baku pembuatan kopi bubuk yang biasa digunakan sebagai minuman sehingga aspek mutu (fisik, kimiawi, kontaminasi dan kebersihan) harus diawasi sangat ketat karena menyangkut citarasa, kesehatan konsumen, daya hasil (rendemen) dan efisiensi produksi.  Dari aspek citarasa dan aroma, seduhan kopi akan sangat baik jika biji kopi yang digunakan telah diolah secara baik.

b.  Penyangraian

Proses ini merupakan tahapan pembentukan aroma dan citarasa khas kopi dari dalam biji kopi dengan perlakuan panas.  Biji kopi secara alami mengandung cukup banyak senyawa organik calon pembentuk citarasa dan aroma khas kopi.  Waktu sangrai ditentukan atas dasar warna biji kopi sangrai atau sering disebut derajad sangrai.  Makin lama waktu sangrai, warna biji kopi sangrai mendekati cokelat tua kehitaman (Mulato, 2002).  Perendangan atau penyangraian bisa dilakukan secara terbuka atau tertutup.  Perendangan secara tertutup banyak dilakukan oleh pabrik atau industri-industri pembuatan kopi bubuk untuk mempercepat proses perendangan.

Roasting merupakan proses penyangraian biji kopi yang tergantung pada waktu dan suhu yang ditandai dengan perubahan kimiawi yang signifikan sehingga terjadi kehilangan berat kering terutama gas dan produk pirolisis volatil lainnya.  Kebanyakan produk pirolisis ini sangat menentukan cita rasa kopi.  Kehilangan berat kering terkait erat dengan suhu penyangraian.  Selama proses penyangraian, ada tiga tahapan reaksi fisik dan kimiawi yang berjalan secara berurutan, yaitu:

1)   Penguapan Air

Proses penyangraian diawali dengan penguapan air yang ada di dalam biji kopi dengan memanfaatkan panas yang tersedia dan kemudian diikuti dengan reaksi pirolisis.  Penguapan air ini terjadi pada suhu 1000C.

2)   Penguapan Senyawa Volatile

Pada tahap kedua, setelah air menguap maka seiring dengan semakin tingginya suhu pemanasan maka semakin banyak senyawa volatile yang menguap.  Senyawa tersebut antara lain aldehid, furfural, keton, alcohol, dan ester.

3)   Pirolisis

Pirolisis pada dasarnya merupakan reaksi dekomposisi senyawa hidrokarbon antara lain karbohidrat, hemiselulosa dan selulosa yang ada di dalam biji kopi sebagai akibat dari pemanasan.  Reaksi ini umumnya terjadi setelah suhu sangrai di atas 1800C.  Secara kimiawi proses ini ditandai dengan evolusi gas CO2 dalam jumlah banyak dari ruang sangria.  Sedang secara fisik, pirolisis ditandai dengan perubahan warna biji kopi yang semula kehijauan menjadi coklat muda lalu menjadi coklat kayu manis hitam dengan permukaan berminyak.  Tidak jarang tahap ini disebut tahap pencoklatan.

Alat penyangrai bisa berupa oven yang beroperasi secara batch atau kontinous.  Pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfir dengan media udara panas atau gas pembakaran.  Pemanasan dapat juga dilakukan dengan melakukan kontak dengan permukaan yang dipanaskan, dan pada beberapa desain pemanas, hal ini merupakan faktor penentu pada pemanasan.  Desain paling umum yang dapat disesuaikan baik untuk penyangraian secara batch maupun kontinous merupakan drum horizontal yang dapat berputar.  Umumnya, biji kopi dicurahkan sealiran dengan udara panas melalui drum ini, kecuali pada beberapa roaster dimana dimungkinkan terjadi aliran silang dengan udara panas.  Udara yang digunakan langsung dipanaskan menggunakan gas atau bahan bakar, dan pada desain baru digunakan sistem udara daur ulang yang dapat menurunkan polusi di atmosfir serta menekan biaya operasional (Ciptadi dan Nasution ,1985).

Penyangraian sangat menentukan warna dan cita rasa produk kopi yang akan dikonsumsi, perubahan warna biji dapat dijadikan dasar untuk sistem klasifikasi sederhana.  Perubahan fisik terjadi termasuk kehilangan densitas ketika pecah. 
Berdasarkan suhu penyangraian yang digunakan kopi sangrai dibedakan atas 3 tingkatan yaitu light roast suhu yang digunakan 1930 sampai 199°C, medium roast suhu yang digunakan 204°C dan dark roast suhu yang digunakan 2130 sampai 221°C.  Secara laboratoris tingkat kecerahan warna biji kopi sangrai diukur dengan pembeda warna lovibond (Mulato, 2002). 

Biji kopi beras sebelum disangrai mempunyai warna permukaan kehijauan yang bersifat memantulkan sinar sehingga nilai Lovibond nya (L) berkisar antara 60-65.  Pada penyangraian ringan (light), sebagian warna permukaan biji kopi berubah kecoklatan dan nilai L turun menjadi 44-45.  Jika proses penyangraian dilanjutkan pada tingkat medium, maka nilai L biji kopi makin berkurang secara signifikan kekisaran 38-40.  Pada penyangraian gelap, warna biji kopi sangrai makin mendekati hitam karena senyawa hidrokarbon terpirolisis menjadi unsur karbon.  Sedangkan senyawa gula mengalami proses karamelisasi dan akhirnya nilai L biji kopi sangrai tinggal 34-35.  Kisaran suhu sangrai untuk tingkat sangrai ringan adalah antara 190-195o C, sedangkan untuk tingkat sangrai medium adalah sedikit di atas 200o C.  Untuk tingkat sangrai gelap adalah suhu 213-221°C.  Ligh roast menghilangkan 3-5% kadar air: medium roast, 5-8 % dan dark roast 8-14% ( Ridwansyah, 2003).

Waktu penyangraian bervariasi mulai dari 7 sampai 30 menit tergantung pada suhu dan tingkat sangrai yang diinginkan.  Kisaran suhu 190–195°C untuk tingkat sangrai ringan (warna coklat muda), suhu 200–205°C untuk tingkat sangrai medium (warna coklat agak gelap), suhu di atas 205°C untuk tingkat sangrai gelap (warna coklat tua cenderung agak hitam).  Alat penyangrai terdiri dari silinder, pemanas, dan alat penggerak atau pemutar silinder.  Cara kerja silinder dipanaskan sampai suhu 3400C dengan 10 putaran/menit atau 3100C dengan 20 putaran/menit.  Lalu kopi dimasukkan ke dalam silinder dampai mencapai tahap roasting point (kopi masak sangrai) pemanasan segera dihentikan dan didinginkan.  Pada alat penyangrai yang dirancang oleh BPP Bogor, untuk menyangrai 15 kg kopi diperlukan waktu + 1 jam, untuk 3 kg kopi diperlukan waktu hanya 15 menit dan dipanaskan hingga suhu + 340o C dengan putaran 20 putaran/menit.

Tahap awal roasting adalah membuang uap air pada suhu penyangraian 100° C dan berikutnya tahap pirolisis pada suhu 180° C.  Pada tahap pirolisis terjadi perubahan-perubahan komposisi kimia dan pengurangan berat sebanyak 10 %.  Proses roasting berlangsung 5-30 menit.  Sampel segera diambil setelah roasting dan digiling dengan metoda standar, sedikit air ditambahkan ke biji kopi pada tahap pendinginan untuk mempercepat pendinginan dan meningkatkan keseragaman ukuran partikel untuk penggilingan berikutnya.  Pada beberapa roaster, air ditambahkan ke biji dalam drum penyangrai diakhir proses.  Biji kopi kemudian dikeluarkan lalu ditaruh dalam baki dingin berlobang dimana udara dihembuskan.

Perubahan sifat fisik dan kimia terjadi selama proses penyangraian, menurut Ukers dan Prescott dalam Ciptadi dan Nasution (1985) terjadi seperti swelling, penguapan air, tebentuknya senyawa volatile, karamelisasi karbohidrat, pengurangan serat kasar, denaturasi protein, terbentuknya gas sebagai hasil oksidasi dan terbentuknya aroma yang karakteristik pada kopi.  Swelling selama penyangraian disebabkan karena terbentuknya gas-gas yang sebagian besar terdiri dari kemudian gas-gas ini mengisi ruang dalam sel atau pori-pori kopi.  Senyawa yang membentuk aroma di dalam kopi menurut Mabrouk dan Deatherage dalam Ciptadi dan Nasution (1985) adalah :
1.    Golongan fenol dan asam tidak mudah menguap yaitu asam kofeat, asam klorogenat, asam ginat dan riboflavin.
2.    Golongan senyawa karbonil yaitu asetaldehid, propanon, alkohol, vanilin aldehid.
3.    Golongan senyawa karbonil asam yaitu oksasuksinat, aseto asetat, hidroksi pirufat, keton kaproat, oksalasetat, mekoksalat, merkaptopiruvat.
4.    Golongan asam amino yaitu leusin, iso leusin, variline, hidroksiproline, alanin, threonin, glisin dan asam aspartat.
5.    Golongan asam mudah menguap yaitu asam asetat, propionat, butirat dan volerat.

Makin lama dan makin tinggi suhu penyangraian, jumlah ion H+ bebas didalam seduhan makin berkurang secara signifikan.  Di dalam proses penyangraian sebagian kecil dari kafein akan menguap dan terbentuk komponen-komponen lain yaitu aseton, furfural, amonia, trimethilamin, asam formiat dan asam asetat.  Kafein di dalam kopi terdapat baik sebagai senyawa bebas maupun dalam bentuk kombinasi dengan klorogenat sebagai senyawa kalium kafein klorogenat.  Biji kopi yang disangrai dapat langsung dikemas.  Pengemasan dilakukan dengan kantong kertas, ketika kopi dipisahkan dari otlet khusus dan digunakan langsung oleh konsumen.  Tempat penyimpanan yang lebih baik serta kemasan vakum diperlukan untuk mencegah deteriorasi oksidatif jika kopi tidak melewati oulet khusus.  

c.  Pencampuran

Pencampuran biji kopi sangrai ditujukan untuk mendapatkan cita rasa dan aroma yang khas dengan mencampur beberapa jenis bahan baku atas dasar jenis biji kopi berasnya (Arabika, Robusta, Exelsa, dll), jenis proses yang digunakan (proses kering, semi-basah, basah), dan asal bahan baku (ketinggian, tanah, dan agroklimat).  Beberapa jenis bahan baku tersebut disangrai secara terpisah, ditimbang dalam proporsi tertentu (atas dasar uji cita rasa) dan kemudian dicampur dengan alat pencampur putar tipe hexagonal.

d.  Pendinginan Biji Sangrai

Setelah proses sangrai selesai, biji kopi harus segera didinginkan di dalam bak pendingin.  Pendinginan yang kurang cepat dapat menyebabkan proses penyangraian berlanjut dan biji kopi menjadi gosong (over roasted).  Selama pendinginan biji kopi diaduk secara manual agar proses pendinginan lebih cepat dan merata.  Selain itu, proses ini juga berfungsi untuk memisahkan sisa kulit ari yang terlepas dari biji kopi saat proses sangrai (Mulato, 2002).

e.  Pengilingan Biji Kopi Sangrai
Penggilingan biji kopi sangrai dapat dilakukan secara tradisional dan menggunakan alat mesin penghalus.  Penggilingan tradisional oleh para petani dilakukan dengan cara menumbuk kopi dengan alat penumbuk yang disebut lumpang dan alu yang terbuat dari kayu.  Setelah ditumbuk sampai halus, bubuk kopi lalu disaring dengan ayakan paling besar 75 mesh.  Bubuk kopi yang tidak lolos ayakan dikumpulkan dan ditumbuk lagi.

Biji kopi sangrai yang dihaluskan dengan alat penghalus (grinder) harus sampai diperoleh butiran kopi bubuk yang halus ataupun dengan tingkat kehalusan tertentu.  Butiran kopi mempunyai luas permukaan yang sangat besar sehingga senyawa pembentuk cita rasa dan senyawa penyegar mudah larut ke dalam air panas.  Mesin penghalus biji kopi sangrai yang umum digunakan oleh industri kopi bubuk adalah tipe burr-mill.  Burr mill terdiri atas dua buah piringan (terbuat dari lempengan batu atau baja), yang satu berputar (rotor) dan yang lainnya diam (stator).  Mekanisme penghalusan terjadi dengan adanya gaya gesek antara permukaan biji kopi snagrai dengan permukaan piringan dan sesama biji kopi sangrai.  Proses gesekan yang snagat intensif akan menyebabkan timbul panas di mesin dan akan berpengaruh pada mutu kopi bubuk (kehilangan aroma).  Oleh karena itu maka mesin penghalus sebaiknya dioperasikan secara terputus.  Jika suhu bubuk kopi sudah panas, maka mesin dihentikan dan dibuka tutupnya untuk mendinginkan bagian dalam komponen penggilingnya dan kemudian mesin dapat dioperasikan kembali.  

Tingkat kehalusan bubuk kopi ditentukan oleh ukuran ayakan yang dipasang pada bagian dalam mesin pembubuk.  Makin halus ukuran ayakan di dalam silinder pembubuk, ukuran partikel bubuk kopinya makin halus.  Jika lubang ayakan digunakan 80 mesh, maka akan diperoleh distribusi ukuran partikel.  Penampilan yang menarik bubuk kopi meningkatkan permintaan pasaran.  Hasil penggilingan biji kopi dibedakan menjadi bubuk kasar (coarse), bubuk sedang (medium), bubuk halus (fine), bubuk amat halus (very fine).

Pilihan kasar halusnya bubuk kopi berkaitan dengan cara penyeduhan kopi yang digemari oleh masyarakat.  Penggilingan melepaskan sejumlah kandungan CO2 dari kopi.  Sebagian besar dilepaskan selama proses dan setelah penggilingan.  Sejumlah besar mungkin masih tertahan terutama pada kopi giling kasar.  Rendemen bubuk kopi adalah susut berat biji kope selama disangrai dan dihaluskan sampai menjadi kopi bubuk dan dinyatakan sebagai perbandingan antara berat kopi bubuk yang diperoleh dengan berat biji kopi beras yang diproses.  Kehilangan biji kopi selama penyangraian disebabkan oleh penguapan senyawa yang mudah menguap (bertitik didih rendah) yang ada di dalam biji, dan juga disebabkan oleh penguapan air.  Sedangkan susut berat selama proses penghalusan umumnya terjadi karena partikel kopi bubuk yang sangat halus terbang ke lingkungan akibat gaya sentripetal putaran pemukul mesin penghalusnya.  Rendemen tertinggi, yaitu 81%, diperoleh pada derajat sangrai ringan dna terendah, yaitu 76%.

Biji kopi sangrai dihaluskan dengan mesin penghalus sampai diperoleh butiran kopi bubuk dengan ukuran tertentu.  Butiran kopi bubuk mempunyai luas permukaan yang relatif besar dibandingkan jika dalam keadaan utuh.  Dengan demikian, senyawa pembentuk citarasa dan senyawa penyegar mudah larut ke dalam air penyeduh (Mulato, 2002).  Penggilingan kopi skala luas selalu menggunakan gerinda beroda (roller), gerinda roller ganda dengan gerigi 2-4 pasang merupakan alat yang paling banyak dipakai.  Partikel kopi dihaluskan selama melewati tiap pasang roller.  Derajat penggilingan ditentukan oleh nomor seri roller yang diguncikan.  Kondisi ideal dimana ukuran partikel giling seragam adalah mustahil, namun variasi lebih rendah jika menggunakan gerinda roller ganda.  Alternatif lain adalah penggilingan sistem tertutup berbasis proses satu tahap, dimana jika ukuran partikel melebihi saringan maka partikel dikembalikan ke pengumpan untuk digiling ulang.  Sejumlah kulit tipis (chaff) terlepas dari biji kopi, terutama robusta, ikut tergiling.  Pencampuran kulit tipis ini, khususnya dengan kopi gosong, memberikan keuntungan berupa peningkatan sifat aliran dengan penyerapan minyak yang menetes (Ciptadi dan Nasution ,1985).

f.  Pengayakan

Pengayakan bertujuan untuk mendapatkan kopi bubuk yang seragam, yaitu sekitar 30-40 mosh.  Syarat mutu kopi bubuk menurut Standar Mutu Indonesia (SNI) 01-3542-1994 adalah:
Kadar air maksimal     : 8%
Kadar abu maksimal   : 6%
Kealkalian abu            : 57-66 m/N lindi/100gram
Kadar sari dihitung dari bahan kering : 20-36 %
Logam berbahaya        : negatif
Keadaan (rasa, bau, warna)     : normal

g.  Pengemasan
Tujuan pengemasan adalah untuk mempertahankan aroma dan citarasa kopi bubuk selama transportasi, saat didistribusikan ke konsumen dan selama dijajakan di toko, di pasar tradisioonal dan di pasar swalayan.  Demikian halnya selama disimpan oleh pemakai.  Jika dikemas secara baik, kesegaran, aroma dan cita rasa kopi bubuk akan berkurang ssecara signifikan setelah satu atau dua minggu.  Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keawetan kopi bubuk selama dikemas adalah kondisi penyimpanan (suhu lingkungan), tingkat sangarai, kadar air kopi bubuk, kehalusan bubuk dan kandungan oksigen di dalam kemasan.  Kehilangan aroma dan citarasa kopi bubuk selama dikemas atau disimpan terutama disebabkan oleh kandungan air dan oksigen di dalam kemasan.  Air di dalam kemasan akan menghidrola senyawa kimia yang ada di dalam kopi bubuk dan menyebabkan bau apek (stale).  Keberadaan oksigen yang terlalu banyak di dalam kemasan juga akan mengurangi aroma dan citarasa kopi karena proses oksidasi.  Senyawa-senyawa aldehid mudah teroksidasi membentuk senyawa asam atau senyawa lain yang berpengaruh tersebut, bahan pengemas harus mempunyai sifat-sifat daya transmisi rendah terhadap uap air, daya penetrasi rendah terhadap oksigen, sifat permeable rendah terhadap aroma dan bau, sifat permeabel terhadap gas CO2, daya tahan yang tinggi terhadap minyak dan sejenisnya, daya tahan yang tinggi terhadap goresan dan sobekan, mudah dan murah diperoleh.

Beberapa jenis kemasan yang umum digunakan adalah plastik transparan, alumunium foil, dan metal.  Masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan baik dari aspek daya simpan, kepraktisan penggunaan dan harga. 
Selain keawetan, kemasan juga harus menarik pembeli kopi bubuk.  Rancangan gambar, warna dan tulisan dicetak dengan jelas di permukaan kemasan agar menarik pembeli dan tampil beda dengan produk-produk sejenis yang telah beredar di pasaran.  Tidak seperti pada pabrik kopi bubuk skala besar, pengemasan kopi bubuk untuk industri skala UKM pada tahap awal cukup menggunakan pengemas manual hard press atau hand sealer.  Jika diinginkan usia simpan kopi bubuk yang lebih lama, oksigen di dalam kemasan dikurangi ke tingkat yang paling rendah.  Proses pengemasan secara manual dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu memasukkan kopi bubuk ke dalam kemasan, menimbang kemasan dan menutup kemasan.  Ketiganya dilakukan oleh tiga operator secara berurutan.  Sedangkan, labelling tanggal kadaluwarsa dilakukan setelah seluruh tahapan proses pengemasan selesai.  Kardus diberi nama perusahan, merek dagang dan label produksi yang jelas.  Tumpukan kardus kemudian disimpan di dalam gudang dengan sanitasi, penerangan dan ventilasi yang cukup.  Tumpukan kardus disangga di atas palet kayu dan tidak menempel di lantai atau dinding gudang.

h.  Pengawasan Proses

Kopi bubuk adalah bahan minuman yang selain memberikan kenikmatan harus juga aman bagi konsumen. Oleh karena itu, kriteria mutu biji kopi sebagai bahan baku kopi bubuk yang meliputi aspek fisik, cita rasa dan kebersihan serta aspek keseragaman dan konsistensi harus dimonitor secara reguler dan berkelanjutan. Selain tahapan proses pengolahan harus jelas, kriteria mutu harus didefinisikan secara jelas sehingga pada saat terjadi penyimpangan, suatu tindakan koreksi yang tepat sasaran dapat segera dilakukan. Jenis pengawasan proses (proses kontrol) dan kontrol mutu yang harus dimonitor pada pengolahan kopi bubuk.



III.  KESIMPULAN



Kesimpulan yang didapat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Biji kopi beras yang baik dijadikan kopi bubuk adalah biji kopi yang sudah dikeringkan dengan kadar air berkisar antara 12-13%, permukaan bijinya sudah bersih dari lapisan kulit tanduk dan kulit ari, serta berwarna mengkilat.
2.    Tahapan pembuatan kopi bubuk yaitu sortasi biji kopi beras, tahap penyangraian dan pencampuran, pendinginan biji kopi sangrai, tahap penggilingan, pengayakan, pengemasan, dan pengawasan mutu.
3.    Suhu penyangraian kopi beras dibedakan atas 3 tingkatan yaitu light roast dengan suhu 1930-199°C, medium roast dengan suhu 204°C dan dark roast dengan suhu 2130-221°C.
4.    Kopi bubuk yang berkualitas adalah kopi bubuk yang memiliki aroma khas kopi (body) karena proses pengolahan yang bersih dan penyangraian dilakukan dengan waktu dan suhu yang tepat.


DAFTAR PUSTAKA



Ciptadi dan Nasution ,1985.  Kopi.  Kanisius.  Jakarta.

Estiasih, Teti dan Ahmadi.  2009.  Teknologi Pengolahan Pangan.  Bumi Aksara.  Malang.

Najiyati, S. dan Danarti.  2001.  Budidaya Kopi dan Penanganan Pasca Panen. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mulato, Sri. 2002. Simposium Kopi 2002 dengan Tema Mewujudkan Perkopian Nasional Yang Tangguh melalui Diversifikasi Usaha Berwawasan Lingkungan dalam Pengembangan Industri Kopi Bubuk Skala Kecil Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Usaha Tani Kopi Rakyat.  Denpasar : 16 –17 Oktober 2002.  Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

MANAJEMEN PANEN KELAPA SAWIT





MANAJEMEN PANEN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)


(Makalah Panen dan Pasca Panen Kelapa Sawit)


Oleh
MUHAMMAD BADRUN
1304122042








clip_image002.jpg






PROGRAM STUDI D3 PERKEBUNAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG

2015











1.  PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman multiguna yang dapat memberikan banyak manfaat.  Tanaman ini dapat mengahasilkan minyak sawit dan minyak inti sawit.  Selain itu, tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan bahan biodiesel, lumpur sawit dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ternak, tandan kosongnya dapat digunakan sebagai pupuk organik, serta pulp kayunya digunakan untuk bahan baku pembuatan kertas.  Oleh karena itu, tanaman kelapa sawit banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia, perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta.  Sehingga produksi kelapa sawit di Indonesia dapat berpengaruh terhadap melambungnya nilai devisa negara (Sukamto, 2008).

Minyak kelapa sawit memiliki keunggulan apabila dibandingkan dengan minyak nabati lainya seperti minyak kelapa, minyak biji bunga matahari ataupun minyak kedelai.  Keunggulan tersebut dapat kita lihat dari total produksi dalam per hektar tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain, tanaman kelapa sawit memiliki umur ekonomis yang panjang, resiko kegagalan budidaya kecil dan penggunaan kelapa sawit beragam.  Dari keunggulan tersebut yang membuat permintaan atas minyak kelapa sawit terus meningkat.  Tercatat pada tahun 2008, produksi Crude Palm Oil (CPO) mencapai 17.539.788 ton, hasil ini meningkat drastis sebesar 150 % dari tahun 2000 yang hanya mencapai produksi CPO sebesar 7.000.508 ton dengan rata-rata peningkatan 18.8 %/tahun.  Produktivitas kelapa sawit untuk Indonesia mulai dari tahun 2003-2009 mencapai rata-rata 3.27 ton/ha. produktivitas yang terbesar dimiliki oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS) yaitu rata rata 3.59 ton/ha, disusul oleh Perusahaan Besar Negara (PBN) dengan rata-rata 3.48 ton/ha dan Perusahaan Rakyat (PR) sebesara 2.97 ton/ha.  Ekspor CPO pada tahun 2013 mencapai 20.572,2 ton dengan rata rata peningkatan nilai ekspor mencapai 22.24 %/tahun. CPO ini dikirim ke beberapa negara yaitu India, China, USA dan beberapa negara Uni Eropa (Direktorat Jendral Perkebunan, 2013).

Usaha untuk mencapai hasil yang menguntungkan, tentu saja petani ataupun perusahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia harus menerapkan teknik budidaya kelapa sawit yang baik dan benar sehingga menghasilkan mutu produksi kelapa sawit yang berkualitas.  Untuk meningkatkan mutu produktivitas kelapa sawit sangat ditentukan oleh kualitas pemeliharaan dan cara pamanenan kelapa sawit (Fauzi, 2012).

1.2  Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Mengetahui manajemen panen yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit
2.    Mengetahui beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum panen sawit
3.    Mengetahui tujuan pengawasan panen kelapa sawit
4.    Mengetahui hal-hal yang harus diawasi saat panen sawit







II.  PEMBAHASAN



A.  Manajemen Panen Sawit

Manajemen panen sawit merupakan kegiatan pengelolaan pemanenan sawit agar tercapai hasil produksi yang maksimal dan menguntungkan.  Untuk mendapatkan hasil produksi yang optimal, dibutuhkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas tanaman kelapa sawit.  Faktor-faktor manajemen panen harus benar-benar dimengerti oleh pimpinan kebun, agar hasil produksi yang berkualitas dapat tercapai.  Beberapa faktor tersebut adalah sistem panen, taksasi panen, seksi panen, rotasi panen, kriteria matang panen, kebutuhan tenaga kerja, peralatan panen, pelaksanaan panen, transportasi panen, premi panen, dan denda potong buah (Sukamto, 2008).

a.  Sistem Panen

Umumnya dikenal dua sistem ancak panen, yaitu ancak giring dan ancak tetap.  Pada system panen ancak giring pemanen diberi ancak sempit dan setelah selesai pindah ke ancak berikutnya yang telah ditunjuk oleh mandor.  Sistem ini baik digunakan untuk areal yang rata.  Kelebihan sistem ini adalah memudahkan pengawasan pekerjaan panen dan hasil panen lebih cepat sampai ke TPH untuk diangkut ke PKS.  Sedangkan pada sistem panen ancak tetap pemanen diberikan ancak yang tetap setiap rotasi panen di areal tersebut.  Sistem ini baik digunakan pada areal yang sempit, daerah rendahan atau daerah berbukit dan pada areal tahun tanam yang berbeda.  Pada sistem ini mandor lebih mudah membagi ancak, tetapi buah lebih lambat keluar, sehingga lambat juga sampai ke pabrik (Fauzi, 2012).
Pada manajemen panen sawit juga dikenal istilah system organisasi panen.  Sistem organisasi panen yang dikenal ada dua macam yaitu Block Harvesting System Non Division Of Labour (BHS Non DOL) dan Block Harvesting System by Division Of Labour (BHS by DOL).  BHS Non DOL adalah sistem panen yang menerapkan dengan satu pemanen saja yang melakukan kegiatan pemotongan tandan buah masak di pokok, mengutip berondolan sampai dengan mengantar tandan buah masak ke tempat pengumpul hasil.  Sedangkan BHS by DOL adalah sistem panen yang menerapkan dengan beberapa orang untuk melakukan pemotongan tandan buah masak pada pokok, mengutip berondolan dan mengantar TBS ke tempat pengumpul hasil.  BHS by DOL terbagi atas dua macam, yaitu BHS by DOL 2 dan BHS by DOL 3.  BHS by DOL-2 adalah sistem panen yang menggunakan 2 tenaga kerja/hancak panen untuk melakukan kegiatan potong buah dan pengutipan berondolan, sedangkan BHS by DOL-3 menggunakan 3 tenaga kerja pemanen/hancak panen untuk melakukan kegiatan potong buah, pengutipan berondolan dan mengantar tandan buah segar ke tempat pengumpul hasil (Sukamto, 2008).

b.  Taksasi Produksi

Taksasi produksi atau yang biasa disebut dengan taksasi panen merupakan kegiatan untuk memperkirakan hasil panen yang akan dilaksanakan pada kegiatan panen berikutnya.  Taksasi panen dilakukan pada sore hari sebelum besoknya dilakukan pemanen pada areal yang sama, kegiatan taksasi panen ini dilakukan oleh mandor panen.  Tujuan dilakukan taksasi panen adalah untuk menentukan jumlah tenaga kerja panen , menentukan jumlah tranportasi pengangkut hasil panen, kemudian untuk memudahkan penentuan pengerjaan pengolahan TBS pada pabrik kelapa sawit.  Hal hal yang sangat dibutuhkan dalam taksasi adalah informasi Berat Janjang Rata rata (BJR), jumlah pokok setiap hektar, jumlah pokok sampel, jumlah pokok yang masak dan basis borong/HK untuk menentukan kebutuhan tenaga kerja panen (Pahan, 2008).


c.  Seksi Panen

Seksi panen merupakan pengumpulan blok-blok areal TM.  Seksi panen berfungsi sebagai kerangka area kerja yang harus bisa diselesaikan dalam satu hari panen atau satu rotasi panen.  Sehingga, seksi panen dapat membantu kontrol mandor ataupun asisten, mempermudah pindah hancak dari satu blok ke blok lainya dan pengangkutan TBS lebih efesien.  Penetapan seksi panen dibuat menyerupai arah putaran jarum jam, sedangkan penetapan luas setiap seksi dihitung berdasarkan hasil sensus produksi semester.  Seksi panen yang banyak dipakai dibagi dalam 6 seksi panen, yaitu seksi A,B,C,D,E dan F.  Seksi panen dari A,B,C,D,E dan F di buat muai dari ujung barat menuju ke timur.  Seksi ini memiliki luasan yang berbeda-beda, penetapan seksi panen mempertimbangkan beberapa hal yaitu jumlah rotasi panen, luas areal TM, lama jam kerja dan hasil identifikasi potensi produksi.  Seksi panen tersebut memiliki luasan yang berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh pertimbangan atas identifikasi potensi produksi atau taksasi produksi semester.  Blok yang dianggap memiliki potensi produksi sedikit digabungkan dengan blok-blok serupa sehinga dalam satu seksi terdapat luasan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan blok yang dianggap memiliki produksi tinggi (Sukamto, 2008).  

d.  Rotasi Panen / Pusingan Panen

Rotasi panen atau yang biasa disebut dengan “pusingan panen” adalah waktu yang diperlukan antara panen terahir sampai dengan panen berikutnya pada areal atau hancak yang sama.  Penetapan rotasi panen berguna untuk menentukan produksi TBS, kualitas/mutu buah dan mutu transport.  Pada umumnya, perkebunan kelapa sawit di Indonesia menggunakan rotasi panen 7 hari.  Tiap areal panen dapat dibagi menjadi 3 atau 4 hari panen, namun rotasi panen harus tetap 7 hari.  Dalam keadaan normal, panen setidaknya dilakukan sebanyak 5 kali dalam seminggu atau biasa disebut dengan sistem panen 5/7 yaitu hari senin sampai dengan hari jumat.  Rotasi panen dapat dirubah 9-12 hari pada panen rendah dan pada puncak panen 5/7 hari (Semangun, 2005).
Menurut Semangun (2005) pusingan panen dapat dikatakan normal apabila memenuhi beberapa hal yaitu :
Ø 7 hari pusingan panen mencapai, artinya dibutuhkan waktu 7 hari untuk memanen seluruh seksi panen.
Ø Satu seksi panen diselesaikan dalam satu/dua hari, lebih dari itu maka pusingan panen tidak bisa diakatakan normal.
Ø Apabila mengulang rotasi panen, pelaksanaan panen terjadi pada hari yang sama dan areal yang sama.

Pusingan yang yang tinggi ( > 7 hari ) disebabkan oleh beberapa hal
yaitu :
Ø Tenaga panen tidak tercukupi, tenaga panen yang ada dialihkan ke kegiatan teknis lainya sehingga berakibat pusingan panen lebih dari 7 hari.
Ø Tingkat ketidak hadiran pemanen tinggi, sehingga berakibat tidak adanya tenaga panen untuk melaksanakn kegiatan potong buah pada hancak si pemanen tersebut.
Ø Panen puncak, mengakibatkan pemanen kualahan untuk melakukan potong buah karena kondisi buah yang sedang banyak, sehingga dibutuhkan waktu 1 atau 2 hari untuk menyelesaikan hancak dalam satu seksi.
Ø Curah hujan tinggi, kondisi curah hujan yang tinggi apalagi hujan pada saat jam kerja memaksa pemanen memutuskan untuk tidak bekerja dan melanjutkannya pada esok hari, sehingga berakibat penyelesaian satu seksi panen lebih dari 1 atau 2 hari.

Pusingan yang tinggi tersebut dapat mengakibatkan beberapa hal, yaitu :
Ø Munculnya buah over ripe atau buah terlalu matang, hal ini dikarenakan pemanen tidak mampu mengejar pusingan yang tinggi  sehingga  buah lambat dipanen.
Ø Buah restan atau buah tidak diantar ke pabrik selama 24 jam, kondisi buah yang banyak mengakibatkan sistem pengangkutan tidak mampu mengangkut TBS ke pabrik.
Ø Potensi losses atau kerugian tinggi, banyaknya TBS dan brondolan di hancak memungkinkan pemanen tidak mengutip dan membawanya ke TPH karena kondisi buah yang banyak sehingga biasanya terjadi buah tidak dipanen dan brondolan tinggal.
Ø Kenaikan asam lemak basa pada hasil olahan kelapa sawit yaitu CPO, adanya buah restan, buah terlalu masak atau terangkutnya brondolan yang sudah membusuk mengakibatkan tingginya asam lemak basa pada CPO.

e.  Kriteria Matang Panen

Menurut Sunarko (2009) kriteria matang panen merupakan beberapa klasifikasi tandan buah kelapa sawit untuk menentukan apakah TBS tersebut siap dipanen atau tidak.  Kriteria matang panen dapat ditentukan pada saat kandungan rendemen minyak kelapa sawit dalam keadaan maksimal.  Buah kelapa sawit dikatakan masak apabila terjadi perubahan pada warna kulit, buah akan berubah menjadi warna merah jingga ketika masak.  Tandan buah kelapa sawit dapat dikatakan matang apabila dalam setiap tandannya terdapat buah yang lepas atau disebut dengan memberondol sekurang kurangnya 5 brondolan.  Tanaman dengan umur kurang lebih 10 tahun , jumlah berondolan dapat mencapai 10 butir sedangkan tanaman yang berumur lebih dari 10 tahun dapat memberondol sebanyak 15-20 butir/pokok.

Penetapan matang panen juga dapat dilihat secara fisiologi dan visual.  Secara fisiologi tandan buah yang sudah masak akan menjatuhkan beberapa buahnya ke piringan atau ke gawangan, hal ini diakibatkan karena rendemen minyak yang terkandung dalam buah sudah mencapai maksimal sehingga buah tidak dapat menempel pada tandannya.  Selain itu, secara fisiologi buah yang sudah masak memiliki daging buah yang lemah atau kenyal sehingga apabila di tusuk dengan benda tajam akan mudah melukai permukaan buah kelapa sawit.  Secara visual , tandan buah yang masak mengalami perubahan warna pada buahnya, buah yang masak ditandai dengan perubahan warna kulit buah menjadi jingga.

f.  Kebutuhan Tenaga Panen

Dalam proses pemanenan, tenaga panen menjadi faktor penting dalam menyukseskan kegiatan panen.  Dimana tenaga panen berhubungan langsung dengan aspek teknis pemanenan.  Oleh karena itu, kebutuhan tenaga panen yang berkualitas sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil produksi yang berkualitas dan dapat diterima oleh pasar.  Dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja panen, seorang pimpinan kebun harus mempertimbangkan luas areal dan kemampuan pekerja agar pekerjaan panen dapat terselesaikan dengan baik.  Pada umumnya, perusahaan kelapa sawit di Indonesia menetapkan rasio tenaga kerja berkisar 1:18, artinya setiap pemanen memiliki areal/hancak yang harus dipanen sebanyak 18 hektar selama satu rotasi/pusingan panen.  Kebutuhan tenaga pemanen dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kerapatan panen, luas hancak panen, kapasitas pemanen, berat janjang rata rata serta populasi pohon dalam setiap blok (Semangun, 2005).  Berikut perhitungan kebutuhan tenaga panen :

Kebutuhan tenaga panen : A x B x C x D / E
Keterangan :      A   = Luas hancak yang akan dipanen ( ha )
                          B    = Kerapatan Panen (%)
                          C   = Berat Janjang Rata – rata ( kg )
                          D   = Populasi Tanaman (pohon/ha)
                          E   = Kapasitas Pemanen / HK

g.  Peralatan Panen

Penggunan alat panen yang tepat akan mengehemat waktu pekerjaan dan menjaga kualitas TBS dan brondolan yang dihasilkan.  Alat panen sawit yang digunakan menurut Pahan (2008) adalah sebagai berikut :
1.    Alat chisel (dodos dengan lebar 8cm) di areal tanaman muda (3-5 tahun)
2.    Egrek ntuk memotong pelepah dan TBS di areal tanaman sawit lebih dari 10 tahun
3.    Kampak untuk memotong gagang panjang yang ada di TBS
4.    Gancu untuk mengangkat TBS ke angkong atau menyusun TBS di TPH
5.    Kereta sorong atau angkong untuk mengangkut TBS menuju TPH
6.    Karung atau goni untuk menaruh brondolan
7.    Tojok untuk mengangkat TBS ke dalam truck pengangkut

Setiap karyawan baru yang masuk sebagai tenaga panen, akan diberikan tanggung jawab untuk menjaga alat-alat tersebut dengan baik.  Setiap pagi, pemanen harus mengecek kondisi alat, apabila ditemukan kerusakan pemanen akan melapor kepada mandor untuk diperbaiki ataupun diganti dengan yang baru.  Selepas pulang bekerja, alat-alat ini dibawa pulang oleh pemanen dan disimpan di rumah masing-masing.

h.  Pelaksanaan Panen

Kegiatan panen dimulai dari lingkaran pagi oleh mandor panen kepada tenaga panen.  Dalam lingkaran pagi, mandor memberikan evaluasi kegiatan panen yang berlangsung pada hari sebelumnya, selain itu mandor juga membagikan hancak kepada pemanen dan memberikan arahan, lingkaran pagi berlangsung selama 15-20 menit dimulai pada pukul 06.00.  Selepas itu, pemanen bersiap-siap menuju hancak dengan membawa seluruh peralatan panen.  Setelah di hancak, pemanen mencari buah yang masak dengan melihat 10 brondolan atau lebih di piringan, apabila menjumpainya maka pemanen wajib memotong buah yang ada di pokok tanaman.  Pemotongan TBS sebisa mungkin tidak memotong pelepah, hal ini dimaksudkan untuk menjaga jumlah pelepah agar tidak terjadi over pruning yang mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis.  Namun, apabila tidak memungkinkan untuk tidak memotong TBS tanpa memotong pelepah, maka pemanen dianjurkan untuk memotong pelapah dan menyusunya di gawangan mati dengan membentuk u shape front staking.  Setelah dua pasar rintis dipotong maka pemanen akan mengutip seluruh brondolan yang berada di piringan, gawangan mati, jalan rintis dan yang berada pada pokok.  Brondolan tersebut dimasukkan ke dalam karung berondolan.  Selain mengutip brondolan, pemanen juga mengangkut TBS yang sudah di potong ke Tempat Pengumpul Hasil (TPH) dengan menggunakan angkong.  Di TPH, pemanen memotong gagang panjang pada TBS, pemotongan gagang panjang membentuk v-cut.  Hal ini bertujuan untuk mengurangi penyerapan minyak kelapa sawit terhadap gagang, sehingga pemotongan gagang secara v-cut merupakan tindakan maksimal untuk mengurangi kerugian.  Pemanen disarankan untuk mengantrikan buah di TPH pada pukul 08.00, karena diharapkan proeses pengangkutan kelapa sawit ke pabrik dapat berlangsung secara cepat sehingga tidak menimbulakan buah restan.  Setelah TBS diperiksa oleh kerani cek sawit, maka TBS diangkut dan diantar ke pabrik kelapa sawit (Sunarko, 2009).

i.  Transportasi Panen

TBS yang baru dipanen harus segera dikirim selambat-lambatnya 24 jam ke pabrik kelapa sawit untuk dilakukan pengolahan.  Apabila melebihi dari 24 jam maka buah akan mengalami restan sehingga mempengaruhi hasil olahan kelapa sawit.  Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan transportasi panen yang baik agar setiap harinya transportasi panen terpenuhi.  Transportasi yang dimaksudkan adalah pengangkutan TBS dan brondolan mulai dari TPH menuju pabrik kelapa sawit.  Pengangkutan TBS menggunakan truk Mitsubishi colt dieser 125 PS, truk ini dapat mengangkut TBS sebanyak 6-7 ton/trip.  Dalam satu hari biasanya truk ini dapat mengangkut TBS ke pabrik sebanyak 3 kali atau 3 trip, namun tergantung pada banyaknya buah yang dipanen pada hari itu.  Selain itu, pengangkutan TBS juga menggunakan truk besar jenis Hino FG 210 PS, truk ini dapat menampung TBS sebanyak 8-9 ton/trip.  Dalam satu hari biasanya truk ini dapat mengirim TBS ke pabrik sebanyak 2 kali atau 2 trip.  Truk ini biasanya digunakan pada saat keadaan buah mengalami peak crop atau panen puncak (Semangun, 2005). 

Berbeda dengan pengangkutan TBS, pengangkutan brondolan menggunakan mobil pick up.  Pengangkutan brondolan dilakukan pada pukul 12.00, hal ini dikarenakan pemeriksaan brondolan oleh kerani brondolan yang baru selesai pada jam tersebut.  Dalam satu hari, biasanya mobil ini dapat mengangkut brondolan sebanyak 400-500 kg untuk dikirim ke pabrik kelapa sawit.  Pengadaan alat-alat transportasi ini disediakan oleh perusahaan.  Alat-alat transportasi ini dikelola oleh traksi yang ada di perusahaan.  Kegiatan traksi di perkebunan kelapa sawit diarahkan untuk menjamin kelancaran pengangkutan produksi TBS kelapa sawit ke PKS.  Selain itu, traksi juga bertanggung jawab dalam pengelolaan sarana listrik, pompa air, jalan, jembatan dan sebagainya (Pahan, 2008).

j.  Premi Panen

Premi tidak lepas kaitannya dengan basis, basis merupakan hasil standar kerja yang ditetapkan oleh perusahaan.  Premi panen sangat berpengaruh terhadap kinerja dan kepuasan kerja karyawan.  Pada dasarnya, pembuatan premi panen berhubungan dengan biaya potong buah per kg TBS sesuai anggaran tahun berjalan dan sistem premi sebelumnya.  Besaran premi harus sesuai dengan anggaran namun premi tersebut dapat menarik perhatian tenaga kerja agar terciptanya semangat kerja yang tinggi.  Di indonesia, perkebunan perkebunan kelapa sawit menggunakan dua jenis sistem premi panen yang diterapkan, yang pertama adalah premi potong buah berdasarkan jumlah janjang buah/TBS yang didapat kemudian yang kedua premi panen ditentukan dari jumlah berat (kg) buah/TBS yang didapat setelah ditimbang dari pabrik (Pahan 2008)

Biasanya basis panen yang harus dicapai seorang pemanen adalah 1300 kg pada hari biasa, sedangkan pada hari Jumat 930 kg.  Premi akan diberikan kepada pemanen apabila pemanen tersebut mampu mencapai basis atau melebihi basis.  Premi di bagi atas dua macam yaitu, premi siap borong dan premi lebih borong. Premi siap borong merupakan premi yang diberikan kepada pemanen apabila sudah mencapai basis, sedangkan premi lebih borong diberikan kepada pemanen jika pemanen melebihi basis yang sudah ditentukan pada hari tersebut.  Sistem premi tidak hanya diperuntukan bagi tenaga kerja pemanen, premi juga diberikan kepada mandor, kerani cek sawit dan mandor 1.  Walaupun sitem premi ini diberikan kepada seluruh organisasi panen terkecuali asisten divisi, besaran premi setiap jabatan berbeda-beda.  Hal ini tentu saja disebabkan oleh kapasitas tanggung jawab yang dimiliki setiap jabatan berbeda.  Contoh, pada premi yang diberikan kepada mador 1 didapat dari total jumlah premi hari ini dibagi dengan jumlah tenaga kerja yang masuk kemudian di kalikan dengan 125 %.  Angka ini lebih besar dari premi yang didapatkan dari seorang mandor panen yang dikalikan 150 %, hal ini tentu saja berhubungan dengan kapasitas tanggung jawab seorang mandor panen lebih besar dari mandor 1 (Fauzi, 2012).  Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai basis dan premi panen.

v Basis
Ø Basis borong           = 1300 kg
= 930 kg pada hari Jumat
Ø Basis Lebih borong= > 1300 kg
= > 930 kg pada hari Jumat
Ø Basis borong pemanen       = Rp 13.500,- /basis borong

v Premi
Ø Premi lebih borong pemanen          = Rp 45,-/ kg
Ø Premi mandor panen                      = Total jumlah premi hari ini / jumlah HK
   panen x 150 %
Ø Premi kerani cek sawit                   = Total jumlah premi hari ini / jumlah HK panen x 125 %
Ø Premi Mandor 1                             = Total jumlah premi hari ini / jumlah HK
   panen x 125 %
v Premi brondolan
Ø Premi pemanen                   = Rp. 140,-/kg
Ø Premi mandor panen          = Total seluruh brondolan yang didapat x Rp 5,-/kg
Ø Premi Kerani brondolan     = Total seluruh brondolan yang didapat x Rp 8,-/kg
Ø Premi mandor 1                  = Total seluruh brondolan yang didapat x Rp 2,-/kg




k.  Denda Potong Buah

Menurut Sukamto (2008) pembuatan denda potong buah bertujuan untuk memberikan rasa pembelajaran terhadapa kesalahan yang dibuat oleh karyawan sehingga muncul rasa kehati-hatian terhadap karyawan maupun pengawas kegiatan agar tidak terjadi kesalahan. Sistem denda yang ada ditujukan kepada seluruh organisasi panen selain asisten divisi.  Berikut tabel yang menjelaskan tentang denda panen.

Tabel 1.  Denda potong buah untuk pemanen

Jenis kesalahan
Besaran denda
Potong buah mentah
Rp. 10.000,-/ Janjang
Buah Underrip dipanen
Rp. 5.000,-/Janjang
Buah masak tidak dipanen
Rp. 10.000,-/Janjang
Buah dipotong tinggal di hancak
Rp. 7.500,-/Janjang
Brondolan tidak dikutip
Rp. 1.000,-/Pokok
Memotong buah tidak sempurna
Rp. 500,-/Pokok
Buah tidak diantrikan di TPH
Rp. 250,-/Janjang
Brondolan banyak sampah
Rp. 10,- /Kg
Gagang panjang lebih dari 3 cm
Rp. 500,-/Janjang
Pelepah sengkleh
Rp. 1.000,-/Pelepah
Buah busuk/ tidak diketek
Rp. 500,- /Janjang
Over pruning
Rp. 1.000,-/Pokok

Apabila mandor melakukan denda terhadap pemanen, maka denda tersebut tidak berlaku bagi mandor.  Selain itu, perhitungan kerani cek sawit apabila melakukan denda terhadap pemanen dilakukan dengan perhitungan premi krani digunakan premi total hari ini yang belum dikurangi oleh denda tersebut.  Namun berbeda dengan mandor yang perhitungan preminya digunakan dari total sisa premi hari ini atau setelah dikurangi denda.  Pemberian denda khusus kepada level supervisi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 2.  Denda potong buah untuk supervise

Jenis Kesalahan
Kerani Panen
Mandor Panen
Mandor 1
Unripe tidak dicatat di LPB-SKU
Premi pada hari tersebut tidak dibayar
-
-
Ripe < 92 %
Premi pada hari tersebut tidak dibayar
Premi pada hari tersebut tidak dibayar
-
Empty Bunch > 5 %
-
Premi pada hari tersebut tidak dibayar
-
Tidak melakukan denda terhadap kesalahan mutu buah
Premi pada hari tersebut tidak dibayar
Premi pada hari tersebut tidak dibayar
-
Tidak mencatat jumlah janjang dengan benar
Premi pada hari tersebut tidak dibayar
-
-
Brondolan tinggal >2 brondolan/pokok pada saat pemeriksaan PSQM
-
Premi pada hari tersebut tidak dibayar
-
Brondolan tinggal >2 brondolan/pokok dan atau buah tinggal pada saat kunjungan manajemen
-
Premi pada hari tersebut tidak dibayar
Sanksi Adminstratif
Brondolan tinggal >2 brondolan/pokok dan atau buah tinggal pada saat pemeriksaan oleh internal kebun
-
Premi pada hari tersebut tidak dipotong 50 %
Sanksi Administratif

perhitungan diatas lebih mengoptimalkan basis borong atau hasil yang harus dipenuhi oleh seorang pemanen dengan strategi memperluas hancak panen ketika kerapatan matang panen sedang rendah.  Namun, perhitungan tersebut dapat mempengaruhi kualitas panen, hal itu terjadi ketika seorang pemanen kurang disiplin atau faktor usia pemanen yang mempengaruhi penyelesaian hancak panen (Fauzi, 2012).

B.  Pengawasan Panen

Salah satu proses operasional yang penting dalam aspek produksi untuk mencapai tujuan perusahaan tersebut adalah dengan pengawasan produksi (production control).  Pengawasan produksi (panen) merupakan suatu usaha yang dilakukan perusahan untuk mengawasi proses produksi agar kegiatan produksi dapat terlaksana secara efektif (tercapai tujuan yang di ingin kan) dan efisien (hemat waktu, tenaga, dan biaya).  Dalam hal ini yang dimaksud dengan pengawasan produksi ialah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah buah kelapa sawit yang di hasilkan oleh tanaman kelapa sawit dalam suatu lahan produksi sehingga dapat di prediksi jumlah panen yang akan di peroleh dan untuk menjaga kualitas mutu sehingga tercapainya target yang di inginkan oleh perusahaan (Sunarko, 2009).

Kegiatan-kegiatan Pengawasan panen yang dilakukan antara lain yaitu pengawasan angka kerapatan buah (AKP) dan penghitungan bunga buah (PBB), pengawasan panen, kap inspeksi, pengawasan penyortiran buah sawit, pengawasan lingkungan perkebunan.




a. Angka Kerapatan Panen (AKP)

Menurut Pahan (2008) angka kerapatan panen (AKP) adalah suatu kegiatan untuk menghitung jumlah buah yang sudah siap panen di lapangan, dimana kriteria buah sawit yang sudah layak untuk di panen ialah antara lain : sudah berwarna merah atau orange dan brondolan yang jatuh berjumlah  lima biji atau lebih (Fraksi 5 ke atas).  Kegiatan menghitung AKP ini biasanya dilakukan sehari sebelum kegiatan pemanenan di lakukan yang bertujuan untuk mengetahui jumlah tros yang dapat di panen di lapangan esok hari sehingga dapat di tentukan jumlah produksi yang akan di hasilkan, jumlah truk yang di perlukan untuk mengangkut TBS yang di panen, dan berapa harian kerja (HK) yang di perlukan untuk memanen area tersebut.

Cara kerja dalam kegiatan AKP ini, pertama-tama kita harus mengambil sampel yang akan mewakili seluruh populasi pohon sawit yang ada, biasanya jumlah sampel yang diambil bervariasi tergantung kebijakan pimpinan namun biasanya yang paling sering digunakan ialah 3% atau 5% dari jumlah populasi, pemilihan sampel dilapangan di lakukan secara acak dimana sampel yang diambil harus lah yang dapat mewakili dari keseluruhan jumlah populasi.

b.  Perhitungan Bunga Buah “Buah Hitam” (PBB)

PBB adalah suatu kegiatan menghitung jumlah bunga dan buah yang ada di lapangan, yang perlu diperhatikan dalam kegiatan PBB ini adalah :
Ø Bunga yang di hitung adalah bunga betina yang telah mengalami penyerbukan dan telah memecah.
Ø Buah yang di hitung dalam kegiatan ini adalah buah yang masi berwarna hitam sedangkan buah yang warnanya sudah mulai memerah tidak di hitung.

Tujuan : Untuk meramalkan jumlah produksi yang akan di capai untuk 6 bulan mendatang dan di proyeksikan perbulan.  Kegiatan PBB tidak seluruh populasi pohon yang di hitung bunga dan buah hitam yang dimilikinya namun hanya sampel saja yang di hitung dan sampel yang diambil harus lah yang dapat mewakili keseluruhan populasi dimana sampel yang di ambil biasanya bervariasi tergantung dengan kebijakan pimpinan tapi biasanya minimal 5% dari jumlah populasi yang ada di lahan budidaya (Sunarko, 2009).

c.  Pengawasan Panen

Panen adalah serangkaian kegiatan mulai dari memotong tandan matang panen sesuai kriteria matang panen, mengumpulkan dan mengutip brondolan serta menyusun tandan di tempat pengumpulan hasil (TPH).  Tujuan panen adalah untuk memanen seluruh buah yang sudah matang panen dengan mutu yang baik secara konsisten sehingga potensi produksi minyak dan inti sawit maksimal dengan dicapai.  Oleh karena itu, bila terjadi ada buah matang yang tidak terpanen, mutu buah yang tidak sesuai dengan kriteria matang panen dengan buah yang dipanen tidak dapat segera dikirim ke pabrik, agar segera dicari solusinya.  Manajemen kebun bertugas untuk memanen semua buah matang yang ada dan mengirimnya ke pabrik pada saat kualitas buah optimum untuk mendapatkan kualitas minyak dan inti sawit yang maksimum.  Buah yang dipanen hari ini harus sampai di pabrik hari ini juga.  TBS yang tidak dilakukan pengolahan di pabrik melebihi 24 jam akan menimbulkan Asam Lemak Bebas (ALB) yang tinggi (Hartanto, 2011).

Kriteria matang panen adalah persyaratan kondisi tandan yan ditetapkan untuk dipanen, adapun kriteria matang panen TBS yaitu 5 Brondolan segar per tandan di piringan.  Brondolan di piringan yang kecil ukurannya, brondolan kering atau yang sakit tidak bisa dijadikan dasar sebagai kriteria matang panen.  Dengan tidak memanen tandan yang berondolannya < 5 butir di piringan secara konsekuen maka komposisi kematangan buah yang dipanen sampai ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit) akan sangat baik.  Demikian juga mengenai jumlah pelepah dipokok dapat dipertahankan 48 − 56 helai karena pelepah baru di turunkan setelah tandan matang.  Kondisi seperti ini dalam jangka panjang sangat berpengaruh terhadap produksi (Fauzi, 2012)
d.  Kap Inspeksi

Kap inspeksi adalah pemeriksaan terhadap seluruh proses panen dengan memberikan nilai kesalahan sesuai nomor yang ditetapkan.  Kap inspeksi ini bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan disipalin pelaksanaan panen sesuai norma.  Menurut Hartanto (2011) hal-hal yang diperiksa adalah antara lain:

1)   Pemeriksaan dan nilai kesalahan di ancak pemanen :
Ø Buah matang tidak di panen (nilai : 5)
Ø Tandan di panen tidak di angkat ke TPH (nilai : 5)
Ø Brondolan tidak di kutip (nilai : 0,5/brondolan)
Ø Pelepah tidak dipotong dua dan tidak di susun (nilai : 1)
Ø Tidak menurunkan pelepah yang seharusnya diturunkan (nilai : 1)

2)   Pemeriksaan dan penilaian kesalahan di TPH :
Ø Buah mentah (nilai : 5)
Ø Buah busuk (nilai : 5)
Ø Gagang tandan panjang (nilai : 1)
Ø Kebersihan brondol (nilai : 2)
Ø Penulisan nomor (mandor dan panen) di pangkal gagang tandan (nilai : 0,5).

Berdasarkan hasil pemeriksaan di TPH dan ancak panen dari setiap pemanen dapat di nilai dan di tentukan kelas pemanen sebagai dasar pembayaran premi.  Klassifikasi pemanen sesuai tabel 3 berikut :

Tabel 3.  Klasifikasi kelas pemanen sawit.

Klassifikasi
Total kesalahan
Nilai Pemeriksa Panen
A
0 – 10
90 – 100
B
11 – 20
80 – 89
C
21 – 30
70 – 79
D
31 – 40
60 − 69
Keterangan :
Kelas = 100 - Total kesalahan

e.  Penyortiran TBS

Penyortiran TBS adalah menyeleksi dengan cara memilih dan memilah TBS yang memenuhi kriteria panen dan TBS yang belum memenuhi kriteria panen.  TBS tersebut akan di angkut dari TPH kedalam truck dan mengirimnya ke pabrik kelapa sawit.  Kegiatan ini bertujuan agar tidak ada buah mentah atau pun janjangan kosong yang ikut diangkut ke pabrik kelapa sawit.  Kegiatan penyortiran buah ini dilaksanakan oleh petugas KCS (kerani chek sawit).  Petugas KCS akan memeriksa dan melakukan pencatatan di TPH, hal-hal yang di awasi dan di catat oleh KCS adalah jumlah TBS yang ada di TPH, buah mentah yang ada di TPH, jumlah TBS yang di angkut truck, jumlah TBS yang tertinggal di TPH.  Petugas KCS juga membuat Surat Pengantar (SP) yang akan ikut di bawa ke PKS.  Surat Pengantar berisikan jumlah TBS yang di angkut dan nomor seri kendaraan truck yang mengangkut TBS (Semangun, 2005).

f.  Pengawasan Lingkungan Perkebunan

Pengamanan adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga suatu keadaan atau pun kondisi agar tetap stabil dan aman.  Kegiatan pengamanan ini di lakukan oleh bagian pengamanan yang terdiri diri satpam dan centeng.  Pengawasan lingkungan perkebunan adalah merupakan suatu usaha untuk menjaga keadaan lingkungan perkebunan agar tetap stabil aman dan terkendali.  Dalam kegiatan pengawasan lingkungan perkebunan ini di lakukan oleh pertugas satpam yang merupakan karyawan dari bidang pengamanan.  Menurut Semangun (2005) dalam kegiatan pengawasan lingkungan perkebunan ini ada beberapa hal penting yang rutin dilakukan oleh petugas satpam setiap harinya antara lain yaitu :
Ø Membuka dan menutup pintu palang, dimana kegiatan membuka pintu palang dilakukan sebelum jam.08.00 WIB dan kemudian di tutup kembali kira-kira pada pukul 18.00 WIB.
Ø Shift 1 (jaga malam) kegiatan ini dilakukan dari jam 18.00 WIB – jam 06.00 dalam kegiatan ini petugas CENTENG harus berkeliling keseluruh areal perkebunan dan juga harus mengawasi RESTAN (buah sawit yang tidak terangkut oleh truck dan harus bermalam di TPH).
Ø Shift 2 (Patroli di siang hari) kegiatan ini dilakukan dari jam 06.00 WIB – 18.00 WIB dalam kegiatan ini petugas centeng juga harus berkeliling keseluruh areal perkebunan dan memantau keadaan di area perkebunan.
Ø Kegiatan pengamanan ini dilakukan setiap harinya tanpa ada hari libur.




III.  KESIMPULAN



Kesimpulan yang didapat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Manajemen panen yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit antara lain sistem panen, taksasi panen, seksi panen, rotasi panen, kriteria matang panen, kebutuhan tenaga kerja, peralatan panen, pelaksanaan panen, transportasi panen, premi panen, dan denda potong buah.
2.    Sebelum melakukan panen sawit kita harus menyiapkan tenaga kerja dan peralatan panen.
3.    Tujuan pengawasan panen sawit adalah agar dapat diketahui jumlah buah kelapa sawit yang dihasilkan, dan kegiatan produksi dapat terlaksana secara efektif (tercapai tujuan yang di ingin kan) dan efisien (hemat waktu, tenaga, dan biaya)
4.    Kegiatan pengawasan panen sawit yang dilakukan antara lain pengawasan angka kerapatan buah (AKP) dan penghitungan bunga buah (PBB), pengawasan panen, kap inspeksi, pengawasan penyortiran buah sawit, pengawasan lingkungan perkebunan.




DAFTAR PUSTAKA



Direktorat Jendral Perkebunan.  2013.  Pengembangan Kelapa Sawit Nasional, Mewujudkan Visi Indonesia 2020.  Diakses melalui http://ditjenbun.deptan.go.id//index.php.(5 Desember 2012).

Fauzi.  2012.  Kelapa Sawit.  Penebar Swadaya.  Jakarta.

Hartanto.  2011.  Budidaya Kelapa Sawit.  Citra Media Publising.  Yogyakarta.

Pahan.  2008.  Manajemen Agribisnis dari Hulu Hingga Hilir.  Penebar Swadaya.  Jakarta.

Semangun.  2005.  Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit.  Gadjah Mada University Press.  Yogyakarta.

Sunarko.  2009.  Budidaya dan Pengolahan Kebun Kelapa Sawit Dengan Sistem Kemitraan.  Agromedia Pustaka.  Jakarta.

Sukamto.